Rabu, 18 Januari 2012

Betapa hebatnya engkau

PAGI ini Gagah kembali menagih janji kepadaku.
“Ayah perbaiki sepedaku dong,” katanya sebelum berangkat ke sekolah.
“Apanya lagi yang rusak,” tanyaku sekenanya.
“Rantainya seret, jadi kalau digowes (dikayuh) berat,” ujarnya.
“Iya deh, nanti pas kamu pulang sekolah Ayah olesi oli biar nggak seret,” sahutku.

Dari jauh kuperhatikan sepeda Gagah disandarkan di tembok samping rumah. Tanpa standar, hanya setangnya menjadi tumpuan di tembok. Sepeda dengan corak berwarna perpaduan merah-hijau-kuning, sudah terlihat agak kusam.

Pijakan kaki pada pengayuh sebelah kiri sudah patah, hanya meninggalkan besi tengahnya saja. “Bagaimana dia mengayuh sepedanya,” gumamku, seraya mendekati sepeda Gagah hadiah dari kakek-neneknya ketika dia masih berumur 2 tahun.

Kucoba menarik remnya, ternyata begitu keras dan juga tak berfungsi. Aku jadi ingat sandal jempit Gagah yang bagian ujungnya ‘habis’ karena digunakan untuk menggantikan fungsi rem. Caranya sandal itu dijadikan penghambat laju sepeda dengan menggesekan ke jalan. “Ada aja akalnya,” kataku dalam hati.

Siang hari, Gagah pulang sekolah dan langsung menagih janji.
“Ayah, ayo perbaiki dong,” ujarnya setengah merajuk.

Tanpa disuruh, dia membalikkan sepedanya sehingga kedua rodanya berada di atas. Prosedur standar memperbaiki sepeda, agar mudah memeriksa bagian yang rusak.

Kulihat rantai sepedanya berkarat, sehingga berat ketika diputar. Roda depannya pun seret karena terjerat benang layang-layang.

Lalu, kuolesi rantai dan roda belakang dengan oli bekas mesin sepeda motor. Sebisa mungkin melepaskan benang yang melilit di as roda depan.

“Wah masih seret juga nih, Bang,” kataku kepada Gagah. Karena dia anak pertama, maka saya panggil Abang.
“Ganti aja yang baru, Yah,” jawabnya spontan.
“Apanya?” kataku, pura-pura tidak mengerti.
“Sepedanya. Beli di Depok, seperti yang kemarin kita lihat,” ujar Gagah menjelaskan.

Wah gawat nih kalau sudah begini. Urusannya pasti tidak sederhana, selain membutuhkan anggaran besar, melobi ibunya pun pasti tidak mudah.

“Uangnya dari mana? Sepada baru ‘kan mahal,” kucoba mencari alasan.
“Berapa harganya, Yah,” tanya Gagah seakan memburu.
“Tujuh ratus ribu, Bang,” tandasku.

Gagah menatapku dengan mata merawang. Entahlah, mungkin dia membayangkan besarnya uang Rp700.000. Atau, mungkin dia tidak mengerti, karena selama ini belum paham menghitung uang dalam jumlah besar.

Biasanya, kalau diberi uang hanya pecahan Rp100, sisa kembalian belanja ibunya. Menghitung uang dengan satuan ratusan, Gagah sedikit menguasai. Namun, jika untuk jajan kue yang harganya Rp500 atau Rp1.000, dia masih minta bantuan ibunya menunjukkan jumlah uang yang tepat atau pecahan uang bernilai sama.

Suatu ketika hendak membeli kue di warung seharga Rp1.000 dan dibawakan uang pecahan Rp2.000. Bukannya pulang gembira, sebaliknya dia malah menangis dan marah kepada ibunya karena mengira uang yang diberikan salah dan tidak bisa digunakan.

“Bunda, tukang kue bilang harganya seribu, kok aku dikasih uang ini,” protesnya seraya mengembalikan uang pecahan Rp2.000.

Istriku hanya tersipu-sipu melihat ekspresi Gagah. Setelah dijelaskan uang yang diberikan benar dan diantar ke warung oleh ibunya, baru dia percaya.

“Kalau uangnya dua ribu, dipakai jajan seribu, malah ada kembalinya seribu,” istriku menjelaskan. Secara sederhana diterangkan Rp1.000 ditambah Rp1.000 adalah Rp2.000. Begitu seterusnya, seperti penghitungan biasa, hanya satuannya ribuan.

Sore hari menjelang berangkat kerja, Gagah menghampiriku.
“Ayah, sekalian belikan sepeda baru dong. ‘Kan ayah lewat Depok,” pintanya.
“Uangnya mana? Ayahkan belum punya uang,” kilahku.
“Aku kan punya tabungan,” jawabnya.
“Masa sih?,” tanyaku tidak yakin.

Gagah pun menunjukkan koin uang recehan pecahan seratus yang disimpan di dalam kaleng bekas permen. Dihitung jumlahnya ada tujuh buah.

“Ini, aku punya tujuh ratus,” katanya dengan percaya diri.
“Mana cukup,” timpalku, menanggapi dengan enteng.
“Kan Ayah tinggal tambah seribu, jadi pas tujuh ratus ribu,” sahut Gagah dengan yakin.

Sejenak, saya seperti kehabisan kata-kata. Sedangkan ibunya yang mendengar hanya tersenyum simpul. Satu sisi, saya terharu melihat keinginan Gagah untuk memiliki sepeda baru dengan menabung uang recehan sisa belanja ibunya. Di sisi lain, saya tergelitik, bagaimana uang Rp700 ditambah Rp1.000 seharusnya menjadi Rp1.700, tapi dibenak anakku yang baru berusia 6 tahun menjadi Rp700.000.

Selasa, 17 Januari 2012

Kaulah Segalanya Ayah

Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, anak perempuan yang sedang bekerja diperantauan, anak perempuan yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, anak perempuan yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya…..akan sering merasa kangen sekali dengan ibunya.
Lalu bagaimana dengan Ayah?
Mungkin karena ibu lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari, tapi tahukah kamu, jika ternyata ayah-lah yang mengingatkan Ibu untuk menelponmu?

Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Ibu-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng, tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Ayah bekerja dan dengan wajah lelah Ayah selalu menanyakan pada Ibu tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?
Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil…… Ayah biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda. Dan setelah Ayah mengganggapmu bisa, Ayah akan melepaskan roda bantu di sepedamu…
Kemudian Ibu bilang : “Jangan dulu Ayah, jangan dilepas dulu roda bantunya” ,
Ibu takut putri manisnya terjatuh lalu terluka….
Tapi sadarkah kamu?
Bahwa Ayah dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.
Pada saat kamu menangis merengek meminta boneka atau mainan yang baru, Ibu menatapmu iba.. Tetapi Ayah akan mengatakan dengan tegas : “Boleh, kita beli nanti, tapi tidak sekarang”
Tahukah kamu, Ayah melakukan itu karena Ayah tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi?
Saat kamu sakit pilek, Ayah yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata :
“Sudah di bilang! kamu jangan minum air dingin!”.
Berbeda dengan Ibu yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut.
Ketahuilah, saat itu Ayah benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu.
Ketika kamu sudah beranjak remaja….
Kamu mulai menuntut pada Ayah untuk dapat izin keluar malam, dan Ayah bersikap tegas dan mengatakan: “Tidak boleh!”.
Tahukah kamu, bahwa Ayah melakukan itu untuk menjagamu?
Karena bagi Ayah, kamu adalah sesuatu yang sangat – sangat luar biasa berharga..
Setelah itu kamu marah pada Ayah, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu…
Dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah Ibu….
Tahukah kamu, bahwa saat itu Ayah memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya,
Bahwa Ayah sangat ingin mengikuti keinginanmu, Tapi lagi-lagi dia HARUS menjagamu?
Ketika saat seorang cowok mulai sering menelponmu, atau bahkan datang ke rumah untuk menemuimu,
Ayah akan memasang wajah paling cool sedunia…. :’)
Ayah sesekali menguping atau mengintip saat kamu sedang ngobrol berdua di ruang tamu..
Sadarkah kamu, kalau hati Ayah merasa cemburu?
Saat kamu mulai lebih dipercaya, dan Ayah melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya.
Maka yang dilakukan Ayah adalah duduk di ruang tamu, dan menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir…
Dan setelah perasaan khawatir itu berlarut – larut…
Ketika melihat putri kecilnya pulang larut malam hati Ayah akan mengeras dan Ayah memarahimu.. .
Sadarkah kamu, bahwa ini karena hal yang di sangat ditakuti Ayah akan segera datang?
“Bahwa putri kecilnya akan segera pergi meninggalkan Ayah”
Setelah lulus SMA, Ayah akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang Sarjana.
Ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan Ayah itu semata – mata hanya karena memikirkan masa depanmu nanti…
Tapi toh Ayah tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan Ayah..
Ketika kamu menjadi gadis dewasa…..Dan kamu harus pergi kuliah dikota lain…
Ayah harus melepasmu di bandara.
Tahukah kamu bahwa badan Ayah terasa kaku untuk memelukmu?
Ayah hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini – itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati. .
Padahal Ayah ingin sekali menangis seperti Ibu dan memelukmu erat-erat.
Yang Ayah lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan menepuk pundakmu berkata “Jaga dirimu baik-baik ya sayang”.
Ayah melakukan itu semua agar kamu KUAT…kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.
Disaat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah Ayah.
Ayah pasti berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temannya yang lain.
Ketika permintaanmu bukan lagi sekedar meminta boneka baru, dan Ayah tahu ia tidak bisa memberikan yang kamu inginkan….
Kata-kata yang keluar dari mulut Ayah adalah : “Tidak….. Tidak bisa!”
Padahal dalam batin Ayah, Ia sangat ingin mengatakan “Iya sayang, nanti Ayah belikan untukmu”.
Tahukah kamu bahwa pada saat itu Ayah merasa gagal membuat anaknya tersenyum?
Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana.
Ayah adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu.
Ayah akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat “putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang”
Sampai saat seorang teman Lelakimu datang ke rumah dan meminta izin pada Ayah untuk mengambilmu darinya.
Ayah akan sangat berhati-hati memberikan izin..
Karena Ayah tahu……
Bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.
Dan akhirnya….
Saat Ayah melihatmu duduk di Panggung Pelaminan bersama seseorang Lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, Ayah pun tersenyum bahagia…..
Apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu Ayah pergi kebelakang panggung sebentar, dan menangis?
Ayah menangis karena papa sangat berbahagia, kemudian Ayah berdoa…..
Dalam lirih doanya kepada Tuhan, Ayah berkata:
“Ya Allah, ya Tuhanku …..Putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita dewasa yang cantik….
Bahagiakanlah ia bersama suaminya…”
Setelah itu Ayah hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk…
Ayah telah menyelesaikan tugasnya menjagamu …..
Ayah, Bapak, atau Abah kita…Adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat…
Bahkan ketika dia tidak kuat untuk tidak menangis…
Dia harus terlihat tegas bahkan saat dia ingin memanjakanmu. .
Dan dia adalah yang orang pertama yang selalu yakin bahwa “KAMU BISA” dalam segala hal..